Wartanad.id - Banda Aceh - Permasalahan hari ini adalah para perempuan di aceh kurang nya fasilitas atau akses untuk menyalurkan aspirasi dan keinginannya di parlemen. Bagi saya perwakilan perempuan di parlemen menjadi penting agar keinginan mereka dapat didengar dan diwujudkan,"
Syarifah Rahmatillah atau yang dikenal dengan ipah adalah salah satu Srikandi asal aceh yang bertekad bulat untuk maju dalam kontestasi sebagai calon anggota legislatif di Pemilu 2024 nanti. Ipah berencana maju mewakili para perempuan di aceh
Lulusan Jurusan Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala ini berharap kehadiran dirinya di parlemen nanti mampu memberikan kontribusi bagi Aceh, khususnya para perempuan di aceh
Selain membela hak hak perempuan syarifah Rahmatillah juga aktif mengikuti Workshop/seminar international
Berikut Beberapa agenda internasional yang pernah di hadiri ipah
1.Assoctiation women in development (AWID) di Mexico
2.Dialog kemanusiaan dan perdamaian Aceh (coHa) di tokyo jepang
3.Workshop Asean Muslim Assoctiation (AMAN) di thailand
4.CEDAW confrence (UN) di New york
5.Kunjungan Muhibah Ulama perempuan Nanggroe Aceh Darussalam di Malaysia dan singapore
6.Studi kursus pranikah dan pendidikan keluarga Di Malaysia
7.Whorkshop tim kerja oxfam di Thailand
8.kunjungan tim pendamping pemerintah Aceh di Negara Negara EROPA.
Sejak mahasiswa ipah sudah aktif di organisasi kemahasiswaan HMI sampai ke pengurus badko tingkat aceh,wanita kelahiran tahun 1971 ini sudah aktif di LSM sejak tahun 1998 dengan mendirikan MISPI(Mitra sejati perempuan indonesia).
Syarifah Rahmatillah sendiri sampai saat ini masih menjabat sebagai Direktur eksekutif di MISPI,dari 1998 sampai saat ini beliau sangat aktif dalam membela hak-hak perempuan
Ipah lahir dan tinggal di Aceh sampai saat ini. Hukum adalah bidang ilmu yang didalaminya sejak kuliah. Dia menyelesaikan S1 di fakultas Hukum Unsiyah pada 1996 dan melanjutkan pendidikan S2 di Fakultas Hukum Unsyiah pada 2013. Ipah aktif berorganisasi sejak SMP, SMA, kuliah, hingga sekarang.
Sepanjang perjalanan karirnya, ia memiliki pengalaman bekerja di pemerintahan dan non pemerintahan sejak tahun 1997 hingga sekarang. Ia bekerja sebagai PNS di Badan Pertahanan nasional (BPN) Kanwil Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1998 sampai tahun 2003. Kemudian tahun 2003-2008 menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nanggroe Aceh Darussalam, pernah menjadi anggota Staf Ahli Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (2005-2006), dan menjadi anggota Badan Reintegrasi Aceh (BRA) pada 2006.
Sepanjang tahun 2010 hingga sekarang, Ipah juga terlibat dalam program pemberdayaan perempuan, di antaranya sebagai Kasi Program dan Pelaporan di Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Aceh tahun 2010-2012. Dengan latar belakang keahlian di bidang hukum, ia menjadi Kasubag Sosialisasi Produk Hukum dalam Sekretariat Daerah (SETDA) Aceh (2012-2013) dan menjabat sebagai Kasubag Perundang-Undangan dalam Keurukun Katibul Wali (Sekretarian Wali Naggroe) tahun 2013 sampai 2015. Sekarang, dia menjabat sebagai Kasi Hubungan Industrial dan Kelembagaan Ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh sejak 2015.
Sementara untuk lembaga non pemerintah, ia sudah memulai kerja-kerjanya sejak tahun 1997 hingga 2007. Ipah menjabat sebagai bendahara Orbit Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil tahun 1997 dan menjadi anggota Tim Monitoring Tim Dialog RI – GAM bersama Jeda Kemanusiaan Aceh (2001). Dialog damai RI – GAM saat itu tidak banyak melibatkan perempuan, namun Ipah bersama dua tokoh perempuan lain juga turut berkontribusi dalam perdamaian ini. Pada 2000 hingga 2003, dia menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif di Balai Syura Ureung Inong Aceh. Balai ini berupa konferensi yang dihadiri 450 tokoh perempuan Aceh untuk melaksanakan musyawarah yang disebut Duek Pakat Inong Aceh, yang memastikan adanya keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik Aceh yang dilakukan dengan cara damai melalui dialog.
Dalam Duek Pakat Inong Aceh (Kongres Perempuan Aceh, tahun 2000 dan 2005) I dan II, Ipah menjabat sebagai ketua Sterring Committee (SC). Lalu, sejak tahun 2005 hingga sekarang ia merupakan pendiri dan dewan penyiaran Radio Komunitas Perempuan Aceh dan pendiri sekaligus dewan pengurus dalam Jaringan Perempuan untuk Kebijakan (JPuK). Ipah tergabung sebagai anggota Tim Sosialisasi Aceh Damai pada 2006 dan bergabung dengan Tim Advokasi Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA) tahun 2007.
Sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan, Ipah sangat mencintai pekerjaan dan kegiatannya di luar instansi pemerintah. Selama 20 tahun lebih, MiSPI melakukan banyak kerja untuk memberdayakan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk pembuatan buku bekerja sama dengan Oxfam yang direkomendasikan oleh ketua MUI Aceh. Oxfam adalah konfederasi internasional yang merupakan gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan dan bekerja bersama organisasi mitra dan kelompok perempuan dan laki-laki rentan untuk mengakhiri ketidakadilan.
Dalam ranah hukum, dulunya perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak mendapatkan keadilan seperti tidak diberi hak untuk mendapatkan pengacara dalam proses hukum. Setelah diperjuangkan, akhirnya perempuan mendapatkan hak untuk pendampingan dan pembelaan dalam proses hukum. Bersama Oxfam, Ipah dan LSM lainnya membawa para ulama perempuan ke Malaysia untuk belajar, dan Aceh mendapatkan apresiasi karena memiliki hakim Syariah perempuan. Hal ini menjadi penyemangat bagi Ulama perempuan untuk menempati posisi publik dan untuk memberdayakan diri sendiri.
Fatwa-fatwa KUPI tentang kekerasan seksual dan perkawinan anak selama ini sudah masuk dalam kerja-kerja Ipah, namun perkawinan anak di Aceh tidak setinggi di Jawa. Ia bersama LSM-nya berfokus pada pencegahan perkawinan anak dan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan memberikan kesempatan kepada ulama perempuan untuk menjadi pembicara yang memberikan edukasi tentang pencegahan perkawinan dan kekerasan seksual.
Pemetaan keahlian dan fokus kerja para uperempuan akan memudahkan mereka untuk memperkuat kerja mereka dan bisa berkolaborasi dengan lebih banyak pihak. Selain itu, menurut Ipah penting untuk menonjolkan politik perempuan dalam affirmative action karena selama ini mereka tidak didampingi dengan cukup baik