Wartanad.id | Banda Aceh - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mendorong pembentukan Satuan Tugas (Satgas) penanganan pengungsi agar segera dibentuk di Aceh. Pembentukan Satgas ini dinilai penting lantaran Aceh kerap menjadi tujuan pengungsi Rohingya, baik dari negara asal Myanmar maupun kawasan lainnya.
Pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi di Aceh ini merupakan salahsatu kesimpulan dari pembahasan yang disampaikan dalam rapat koordinasi Komisi I DPR Aceh terkait investigasi seringnya pengungsi Rohingya terdampar di Bumi Serambi Mekkah. Rakor tersebut digelar di ruang rapat Badan Anggaran DPR Aceh, Rabu, 4 Januari 2023 siang.
Ikut serta dalam rakor tersebut, Asisten Deputi Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Brigjen Pol Dr Bambang Pristiwanto, SH.,MM, yang sebelumnya diwakili Kabid Penanganan Kejahatan Transnasional Deputi V Kamtibmas Kemenko Polhukam, Etiko Pamarhoadi, via zoom meeting. Selain itu, hadir juga melalui rapat virtual Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, serta Kasubdit Pengawasan orang Asing dan Lembaga Asing Kementerian Dalam Negeri RI.
Hadir juga dalam rapat tersebut Karo Ops Polda Aceh, Kombes Pol Drs H Agus Sarjito, Danlanal Sabang, Pj Gubernur Aceh yang diwakili Asisten I Setda Aceh, Bakamla, Imigrasi, Kemenkum HAM Aceh, Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia Ann Maymann, Steffano dari IOM, dan sejumlah pejabat penting lintas sektoral lainnya termausk jajaran Pemerintah Kabupaten Pidie, Aceh Besar dan Lhokseumawe serta Aceh Utara.
Dalam rapat itu, para peserta sepakat adanya kepentingan terselubung dari para pihak terkait kedatangan para pengungsi etnis Rohingya ke Aceh yang terus berulang sejak tahun 2009 hingga 2022. Selain itu, para pengungsi yang diduga menggunakan berbagai modus agar dapat berlabuh ke Aceh itu juga hanya menjadikan daerah ini sebagai lokasi transit ke negara tujuan mereka.
Inilah yang membuat peserta rapat koordinasi itu menyimpulkan untuk sesegera mungkin membentuk Satgas Penanganan Pengungsi Rohingya di Aceh sejak terakhir kali diusul pada November 2022.
“Kita mendorong dan menyepakati pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Rohingya di Aceh, sementara menyangkut penganggaran akan didiskusikan lebih lanjut dalam hal ini Pemerintah Aceh dan Satgas Pemerintah Pusat,” kata Ketua Komisi I DPR Aceh, Iskandar Usman Alfarlaky menyampaikan kesimpulan hasil rapat koordinasi tersebut.
Selanjutnya, peserta rapat koordinasi juga mendesak Pemerintah Pusat untuk melakukan revisi Perpres Nomor 125 tahun 2016 agar pemerintah daerah bisa menangani pengungsi Rohingya lebih lanjut. Pemerintah Aceh juga diminta segera mempercepat pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi dan berkoordinasi dengan Satgas Pusat. “Secara kemanusiaan, semua lintas sektoral di Aceh tetap memfasilitasi kehadiran etnis Rohingya ini dengan batas waktu tertentu. Selanjutnya pengungsi ini akan ditangani oleh UNHCR dan IOM, apakah mereka bersinergi dengan lembaga dunia lainnya untuk menempatkan para pengungsi kepada negara penerima suaka politik,” kata Iskandar Usman.
Komisi I DPR Aceh juga meminta UNHCR untuk segera memperjelas status pengungsi Rohingya yang ada di Aceh, tetapi tetap berkoordinasi dengan lintas sektoral dan pemerintah pusat. Selanjutnya, peserta Rakor Penanganan Pengungsi Rohingya turut mendesak komunitas internasional untuk mendukung proses perdamaian etnis Rohingya di Myanmar. “Terutama di kawasan Rachine dan Bangladesh,” kata Iskandar.
Dia menyebutkan nantinya setelah Satgas dibentuk akan dilakukan rapat koordinasi lanjutan untuk membahas penanganan pengungsi Rohingya di Aceh. “Kami dari DPR Aceh tetap menunggu progress pada kesempatan pertama, apakah Satgas itu sudah dibentuk, SK-nya sudah dibentuk. Kita juga akan terus menunggu informasi perkembangan kebijakan dari Pemerintah Pusat terkait penanganan pengungsi Rohingya di Aceh,” tambah Iskandar Usman.
Dalam rapat koordinasi tersebut mencuat beberapa pertanyaan dari anggota Komisi I DPR Aceh terkait kedatangan pengungsi Rohingya. Anggota Komisi I DPR Aceh, Taufik, bahkan turut mempertanyakan kesiapan pengamanan laut dan udara Indonesia yang dinilainya memiliki angkatan bersenjata profesional untuk mengamankan wilayah terluar.
“Menurut hemat kami, Indonesia ini memiliki angkatan yang tangguh, dalam situasi ini, kapal pengungsi Rohingya mendarat di Bireuen tanpa diketahui apalagi jika ada kapal-kapal canggih yang bisa saja mendarat tanpa diketahui di wilayah NKRI ini,” kata Taufik.
Dia juga berharap ada keseriusan dari pihak terkait untuk pengamanan batas-batas wilayah Indonesia, terutama di Aceh, agar tidak mudah disusupi oleh pihak asing.
Sementara anggota Komisi I DPR Aceh, Tgk Irawan Abdullah, meminta UNHCR dan IOM selaku lembaga internasional yang menangani pengungsi untuk dapat mendesak penyelesaian konflik di negara asal etnis Rohingya, yaitu Myanmar. Menurutnya desakan untuk ketertiban keamanan dan penyelesaian konflik di Myanmar, khususnya Rakhine, perlu dilakukan bersama-sama. “Jangan sampai persoalan (kedatangan pengungsi ke Aceh ini) setiap tahun berulang-ulang,” kata Irawan.
Dia juga berharap pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi, seperti yang disepakati oleh peserta rapat koordinasi, turut memberikan timeline sehingga tidak berlarut-larut. Irawan turut mempertanyakan anggaran penanganan pengungsi sehingga tidak membebankan pemerintah daerah yang menerima kedatangan etnis Rohingya. Apalagi, kata dia, anggaran terkait penanganan pengungsi tersebut juga tidak tersedia di level pemerintahan provinsi.
Sementara Tezar Azwar sepakat dengan pembentukan task force penanganan pengungsi. Dia juga mengapresiasi program-program yang dicetuskan IOM terkait penanganan pengungsi agar dapat berbaur dengan masyarakat sekitar. Namun, Tezar menekankan bahwa Aceh bukan merupakan tujuan pengungsi Rohingya. “Karena dari awal niat mereka para pengungsi dari Rohingya ini cuma transit saja di Aceh, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke negara ketiga. Jadi niat mereka itu tidak lama-lama di Aceh, malah banyak yang kabur, bahkan ada yang datang tidak diketahui publik dan sudah pergi ke tempat lain. Memang dari sisi niatnya cuma transit saja,” kata Tezar.
Selanjutnya dalam rapat koordinasi tersebut juga sempat mencuat pertanyaan terkait berapa lama etnis Rohingya mengungsi di Aceh. Namun, pihak UNHCR yang diwakili Ann Maymann mengaku belum dapat memastikan karena ada proses yang harus dilalui.
Saat ini, terdapat sejumlah pengungsi warga negara asing di Aceh berasal dari Bangladesh, yang selama ini menjadi negara penerima suaka bagi etnis Rohingya. Namun, menurut Ann Maymann, mereka tidak kehilangan status pengungsi meski keluar dari negara tersebut.
Status seperti ini, menurut Ann Mayman, juga melekat bagi pengungsi Afghan yang meninggalkan negara mereka Afghanistan menuju Iran kemudian ke Turki dan selanjutnya ke Yunani hingga kemudian tersebar ke berbagai negara Eropa termasuk di Jerman. Di Jerman, para pengungsi tersebut tidak dikembalikan lagi ke negara asal.
“Beberapa negara memiliki persetujuan untuk mengirimkan kembali pengungsi yang telah tiba ke negara mereka, seperti misalnya ada perjanjian antara Yunani dan Turki, dimana pengungsi-pengungsi yang tiba di Yunani bisa dikembalikan ke Turki, tetapi itu tidak berjalan dengan baik,” kata Ann Maymann.
Menurutnya Indonesia dapat bernegosiasi terkait Rohingya tersebut dengan Bangladesh atau negara lainnya untuk masalah pengembalian para pengungsi. Namun, kata Ann, saat ini tidak ada kerja sama seperti itu dan kebijakan tersebut kembali kepada Indonesia untuk mengambil sikap.
Meskipun demikian, menurut UNHCR, kebijakan untuk mendeportasi pengungsi ke negara asal kedatangan bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. “Dan saya rasa Bangladesh juga tidak akan setuju jika ada perjanjian seperti ini karena mereka sudah punya pengungsi lebih dari satu juta jiwa,” kata Ann Maymann.
Dia mengingatkan kedatangan pengungsi Rohingya dari Myanmar diakibatkan adanya persekusi dari junta militer di negara mereka. Selain itu, warga etnis Rohingya tersebut juga berstatus stateless atau orang tanpa kewarganegaraan. “Mereka tidak diakui oleh pemerintah Myanmar, sebagai warga negara Myanmar,” kata Ann lagi.
“Jadi Rohingya ini adalah salah satu grup yang paling rentan di dunia dan mereka mencari tempat untuk menetap,” katanya.
Ann Mayman mengatakan akan mendukung sepenuhnya kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia, maupun Pemerintah Aceh.
Perwakilan IOM, Stefan, dalam rapat tersebut turut mendukung semua keputusan yang diambil oleh pemerintah. Sebagai lembaga yang mengurusi pengungsi, mereka juga akan selalu standby untuk memberikan bantuan apapun yang diperlukan dalam hal penanganan etnis Rohingya di Aceh. Namun, terkait proses pemindahan pengungsi dari satu titik ke titik lainnya disebutkan merupakan kebijakan dari pemerintah di Indonesia dan bukan keinginan IOM.
Terkait pembentukan Satgas penanganan pengungsi Rohingya mendapat respon positif dari Asisten Deputi Koordinasi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Brigjen Pol Bambang Pristiwanto. Menurutnya pembentukan satgas ini merupakan hal yang paling ditunggu pihak Kemenkopolhukam dalam hal penanganan pengungsi di Aceh.
“Terima kasih kepada dewan yang sudah mendorong terbentuknya Satgas Penanganan Pengungsi di Aceh, berarti satu napas dengan kita, satu tujuan sehingga dengan adanya Satgas di Aceh dapat memperlancar birokrasi,” kata Bambang.
Dia turut mengapresiasi sikap Pemerintah Daerah Pidie, Aceh Besar, Aceh Utara, dan Lhokseumawe terutama Pemerintah Aceh yang telah mau menerima dan menangani pengungsi etnis Rohingya. Menurutnya sikap yang dilatarbelakangi atas prinsip dasar kemanusiaan tersebut telah membawa dampak yang positif bagi negara Indonesia di kancah internasional.
Di sisi lain, Kemenkopolhukam tetap mendorong untuk menyelidiki sindikat perdagangan manusia. “Bongkar itu sindikat-sindikat penyelundupan manusia ini, tindak tegas tanpa kompromi. Itu prinsip kita,” kata Bambang.[]