wartanasional.co, Banda Aceh - 7/12/2018. Tragedi pembataian Tgk. Bantaqiah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999 salah satu contoh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi catatan sejarah konflik Aceh. Bukan untuk mengungkit duka lama, akan tetapi tragedi tersebut harus menjadi basis pikir bagi Pemerintah Aceh dalam mendesain pembangunan sektor sumber daya alam. Sehingga dalam pengelolaan sumber daya alam tidak hanya mengedepankan kepentingan investasi asing, akan tetapi hal utama yang harus diperhatikan adalah sikap masyarakat atas kehadiran investasi tersebut. Terlebih lokasi investasi berada pada daerah yang memiliki catatan pelanggaran HAM masa lalu yang belum terselesaikan dalam kurun waktu 13 tahun perdamaian Aceh.
Pengelolaan sumber daya alam sektor tambang yang mendapat penolakan dari masyarakat berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. Banyak kasus yang telah terjadi di Indonesia, mulai dari intimidasi, pengancaman, pemerkosaan, pembunuhan, kriminalisasi dan sampai pada penghilangan orang secara paksa. Dalam beberapa catatan persoalan lingkungan hidup di Aceh juga terjadi hal yang sama dan masyarakat selalu berada di pihak yang dirugikan.
Persoalan tambang di Beutong Ateuh Banggalang menjadi potensi pelanggaran HAM masa depan di tengah kasus HAM masa lalu yang belum selesai. Gejolak penolakan tambang oleh masyarakat jika tidak mendapatkan respon baik dari Pemerintah Aceh dikhawatirkan akan menjadi pemantik terjadinya persoalan di atas. Karena persoalan tambang di Beutong Ateuh Banggalang tidak hanya menyangkut persoalan lingkungan hidup, sosial budaya, dan HAM, juga masalah kewenangan dan kekhususan Aceh yang dilanggar oleh Pemerintah Pusat.
Dalam merespon tuntutan masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tanggal 6 November 2018 telah melaksanakan rapat paripurna khusus terkait permasalahan PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) di Beutong Ateuh Banggalang. Berdasarkan keputusan paripurna DPRA Nomor 29/DPRA/2018, yang disampaikan kepada Plt. Gubernur Aceh dan Kepala BKPM RI, menetapkan: (1) Menyatakan bahwa izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. (2) Merekomendasikan kepada Kepala BPKM RI untuk mencabut/membatalkan izin Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 yang diberikan kepada PT. EMM untuk melakukan eksploitasi di Kecamatan Beutong dan Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya serta Kecamatan Celala dan Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. (3) Meminta kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPRA untuk melakukan upaya hukum terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017.
Atas hasil paripurna itu, sampai hari ini Plt. Gubernur juga belum melakukan langkah konkrit untuk menindaklanjuti keputusan DPRA tersebut. Selain itu, Plt. Gubernur Aceh juga belum merespon tuntutan massa mahasiswa, OKP/Ormas, anggota DPRK, anggota DPD RI, dan tuntutan berbagai komponen masyarakat yang disampaikan dalam berbagai aksi di Aceh.
Hari HAM Sedunia 10 Desember 2018 setidaknya menjadi momentum bersama untuk menagih janji pemerintah dan Pemerintah Aceh dalam bingkai perdamaian menyelesaikan persoalan HAM masa lalu dan potensi pelanggaran HAM masa depan dalam sektor pengelolaan sumber daya alam di Aceh. Untuk mengisi momentum tersebut, WALHI Aceh, Koalisi NGO HAM bersama Korps Barisan Pemuda Aceh (BPA) dan segenap elemen sipil lainnya membuat aksi damai pada hari HAM sedunia 10 Desember 2018. Aksi ini akan berlangsung di kantor Gubernur Aceh dan bundaran Simpang Lima Banda Aceh. Kita berharap Plt. Gubernur Aceh berada ditempat saat aksi damai berlangsung sehingga pernyataan sikap massa dapat diterima secara langsung.(red)